Memang Gunung Salak seolah menunjukan kemegahan alam karena hanya berdiri sendiri ibarat puncak stupa Borobudur di mana di bagian yang lebih rendah terdapat stupa-stupa yang lebih kecil yaitu pegunungan Halimun Salak berupa barisan pegunungan dan bukit-bukit sampai ke arah pantai selatan, melalui Bogor Selatan, Sukabumi dan Banten. Barisan pegunungan ini disebut-sebut sebagai salah satu ring of fire Indonesia, jalur gempa dan celah vulkanik sebagai dampak dari benturan lempeng bumi yang saling bertumbukan maupun bergesekan.
Singkat cerita, sekitar tahun 2013 keluarga besar saya ingin berkemah di kaki gunung Salak tepatnya perkemahan sekitar kaki gunung Salak saja karena untuk menuju puncak gunung secara mental kami belum siap. Sengaja berkunjung satu hari setelah tahun baru karena orang-orang pastinya sudah turun gunung pasca perayaan tahun baru sehingga kami yakin pasti area perkemahan lebih sepi dan lebih terasa suasana alaminya.
Yang kami yakini ternyata benar, area perkemahan sangat sepi dan bersih karena baru dibersihkan secara total oleh pengelola pasca acara tahun baru. Untungnya rumah-rumah penduduk lokal yang mencari nafkah 24 jam sebagai pemilik warung-warung penjaja minuman dan makanan ringan masih beroperasi meskipun sepi pengunjung. Di tulisan ini saya tidak akan menyebutkan lokasi area perkemahan dan jalur pendakian kaki gunung demi menjaga nama baik dan kredibilitas pengelola perkemahan yang menurut saya sudah profesional.
Untuk menghilangkan suntuk karena malam-malam hanya acara bakar-bakaran saja, kami berfoto ria dan tertawa bersama mendengar cerita-cerita ringan dari salah satu anggota keluarga. Satu malam kami lewati dengan tidur lelap biarpun sesekali terlihat cahaya senter penjaga keamanan menyorot tenda dan mengusir anjing-anjing hutan yang mengaung bersahut-sahutan dan kerapkali datang mengelilingi tenda juga mengacak-acak alat dapur pasca bakar-bakaran tadi.
Paginya kami bangun dan shalat subuh kesiangan. Sesekali kami berfoto dengan latar belakang foto matahari terbit diantara celah puncak gunung nunjauh di sana yaitu Gunung Gede Pangrango di timur laut yang sangat jelas terlihat dari area perkemahan. Hasil foto barusan dan semalam tak sabar kami buka di mode display atau gallery.
Di sinilah letak keanehan terjadi, hampir semua hasil foto kami semalam yang diambil dari kamera DLSR penuh dengan efek bokeh warna merah dan oranye serta silhuette merah. Kami tetap berpikir positif karena efek api unggun biarpun kamera sudah disetting mode untuk pemandangan alam malam minim cahaya dan mode default dengan flash blitz sekalipun.
Yang mengejutkan adalah pada foto lainnya tampak ada beberapa sosok menyerupai wajah merah manusia bertaring, kepala harimau dan ular naga. Saya dan saudara yang melihat langsung hasil jepretan semalam tidak memberitahukan penampakan-penampakan itu ke anggota keluarga yang lain demi menjaga keceriaan acara kemah keluarga ini.
Siang harinya trek alam kami jajal dengan tujuan air terjun. Beberapa air terjun kami singgahi. Luar biasa indahnya, walaupun terik tapi tetap terasa teduh karena kanopi alam berupa pohon-pohon besar dan akar-akar raksasa yang bergelantungan. Perjalanan kami diam-diam diikuti oleh sejumlah orang pengelola untuk menjamin keselamatan trek bahaya yang akan kami lalui.
Trek yang kami lewati benar-benar jalan setapak yang beberapa sudah licin tergerus mata air dari celah-celah tanah dan sebagian tertimbun tanah longsoran. Sebenarnya trek ini adalah trek lama yang lebih panjang dari trek baru yang disarankan tim pengelola, semua trek adalah memutar yang tujuannya kembali ke perkemahan hanya saja karena yang dilalui adalah trek tradisional alias trek lama maka perjalanan kami jadi jauh lebih lama. Di curug tujuan, kami lama berhenti untuk berenang dan membersihkan diri untuk kemudian melanjutkan perjalanan balik ke perkemahan. Sejumlah orang dari pengelola sudah tidak mengikuti kami lagi.
Ada sebuah kelakar khas orang Indonesia, kalau kita berkunjung ke tempat lain dan kita buang hajat di tempat itu maka bisa dikatakan kita akan betah ditempat itu. Begitupun saya, ketika perjalanan balik ke kemah tiba-tiba pas melewati sungai kecil berair jernih berarus deras, mulas melilit melanda. Saya buang hajat di sungai yang mengalir jernih. Hingga saya sempat berpikir saya akan betah kalau waktu berkemah diperpanjang. Sambil BAB saya berceloteh : “Wah, jangan-jangan air sungai yang saya “cemari” ini yang nantinya diproses untuk jadi air mineral kemasan merk terkenal nomor 1 di Indonesia yang lokasi pabriknya jauh dibawa sana wekawekaweka cekakak… artinya nanti ada orang yang akan minum air hasil saringan pembuangan ampas makanan saya” , semua ketawa mendengar celotehan saya yang menurut saya garing dan tidak masuk akal. Mungkin mereka ketawa karena saya berceloteh sambil ngejan maksimal.
Setelah ritual BAB selesai, perjalanan balik menuju perkemahan tinggal hitungan menit. Posisi saya sebagai cowok dewasa paling muda harus di belakang guna mengawasi semua anggota keluarga di trek berbahaya. Trek yang dilalui sebelah kanan adalah lereng tanah basah vertikal 90 derajat, sebelah kiri adalah jurang dalam tertutup ilalang dan tetumbuhan khas tropis basah dengan sungai di dasar.
Di barisan terdepan tiba-tiba saya melihat sesosok laki-laki memakai topi pet hitam dengan sambungan penutup pelindung panas untuk leher belakang seperti topi latihan paskibra, berkaos lengan panjang hitam, sabuk militer hitam, celana kargo hitam dan sepatu boot gunung warna hitam berjalan cepat seolah memimpin barisan keluarga kami.
Layaknya pendaki jaman dahulu atau seragam tempur militer jepang jaman dahulu hanya warnanya serba hitam tanpa ada noda tanah lumpur setitik pun. Menit demi menit berlalu, semua anggota keluarga masih berjalan dengan sesekali diantaranya bercerita dan bernyanyi. Saya keheranan sosok orang asing paling depan itu kok tidak nengok kanan kiri, minimal memperlambat langkahnya.
Yang tambah heran, dia berjalan dengan langkah cepat dan badan tegap ala militer tapi tidak meninggalkan kami yang berjalan santai, dia berjalan cepat sekali seolah sedang melakukan moon walking-nya Michael Jackson hanya saja arahnya maju ke depan.
Heran dengan sosok serba hitam tersebut yang langkahnya cepat tapi anehnya tidak jauh dari keluarga kami yang terdepan. Jelas-jelas langkah kami santai, akhirnya saya tanyakan ke anggota keluarga yang lain, itu siapa yang paling depan yang seragamnya dari kepala sampai kaki serba hitam jalan cepat sedangkan baju kami semua baju bebas… tidak ada yang pakai seragam. Sebelum sempat menanyakan ke anggota keluarga akan sosok tersebut, tiba-tiba saya hanya mendengar keheningan, saya lihat sosok tersebut dikelilingi lingkaran bokeh yang teramat banyak.
Loh kok efek bokeh tertangkap mata telanjang sambil sesekali ada efek delusi berbayang. Percaya tidak percaya, sosok tersebut menembus lereng tanah di sebelah kanan trek kami. Sesaat kemudian bokeh dan efek berbayang di pandangan saya menghilang dan pandangan menjadi normal. Saat saya tanya semua orang kemana sosok orang terdepan tadi yang belok kanan, semua keheranan dan sepakat menyatakan hanya keluarga kami saja yang sedari tadi berjalan. Dan trek yang dilalui tidak bercabang kanan kiri hanya satu trek lurus saja, tidak ada orang atau rombongan lain yang ikut serta kecuali rombongan pengelola di awal perjalanan.
Waduh, di saat saya kebingungan sendiri tanpa sadar ternyata saya sudah sampai di perkemahan. Tidak semua orang mengalami hal yang sama dengan saya. Saya berpikir positif, bisa saja sosok tersebut mencoba jadi “guide” dari trek tradisional yang lama tidak dilewati manusia. Mungkin karena hanya saya saja yang buang hajat selama perjalanan di trek lama dan seperti kelakar orang indonesia, jika buang hajat di tempat lain menandakan kita betah di tempat tersebut…. dan akhirnya kebetahan tersebut membuat sosok tersebut mencoba menemani selama di perjalanan…
Untuk yang senang hiking, tracking, camping, pokoknya jaga kebersihan selama beraktivitas, senantiasa tidak asal berucap apalagi bicara kotor, bercanda sewajarnya, tidak melalaikan kewajiban beribadah dan tidak membahas hal-hal ghaib… SALAM LESTARI !!!